KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah akhlak dan budaya
buton yang berjudul “FALSAFAH PERJUANGAN
ORANG BUTON” YINDA – YINDAMO KARO SOMANAMO LIPU” tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini kami
mengandalkan kerja sama kelompok dan beberapa buku yang kami jadikan referensi
serta sumber yang valid.
Kami menyadari sepenuhnya kehadiran
makalah ini tidak terlepas dari kekurangan- kekurangannya. Masih terdapat
banyak hal kajian tentang “FALSAFAH
PERJUANGAN ORANG BUTON” YINDA – YINDAMO KARO SOMANAMO LIPU” yang
belum teruraikan. Hal ini semata- mata dikarenakan keterbatasan kemampuan dan
waktu. Oleh karena itu penyusun dengan rendah hati dan sikap terbuka menerima
masukan, kritikan, dan tanggapan demi kesempurnaannya.
Bau-Bau, 16
April
2012
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar ............................................................................................. 1
Daftar Isi ..……………………………………………………………….... 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………… 3
1.2 Batasan Masalah ………………………………………………...... 7
1.3 Rumusan Masalah ……………………………………………........ 8
1.4 Tujuan ..............................................................................................
8
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Falsafah perjuangan orang buton :
“Yinda- yindamo karo somanamo lipu” ……………..………........ 9
2.2 Aplikasi
falsafah perjuangan’’yinda-yindamo karo somanamo
lipu’’ ditinjau dari
aspek :
2.2.1
Aspek
Politik
........................................................................... 12
2.2.2 Aspek
Ekonomi
....................................................................... 15
2.2.3
Aspek
Sosial
Budaya
.............................................................. 16
2.2.4
Aspek
Agama
......................................................................... 19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan ……...…………………………………………............ 23
3.2 Saran …………………………………………………………......... 25
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Sebelum
melakukan pemaparan dan pembahasan terperinci mengenai Buton perlu dilakukan
identifikasi dan pembatasan- pembatasan tertentu terlebih dahulu pada lingkup
mana dan merujuk kepada kontelasi apa kajian akan berlangsung. Hal ini sangat
penting dilakukan mengingat penamaan buton dapat merujuk pada setidak- tidaknya
empat hal sekaligus, yaitu pertama, Buton yang diberikan untuk nama sebuah pulau; kedua, nama untuk
kerajaan atau kesultanan di masa lalu; ketiga, nama sebuah kabupaten; keempat,
nama untuk menyebut orang Buton (Rabani dalam Naskah Buton, Naskah Dunia, 2009
: 2877). Adapun penyusunan makalah ini kami
maksudkan untuk merujuk pada aspek yang kedua, yaitu Buton sebagai kerajaan
atau kesultanan. Pembahsan ini tentu berkaitan
dengan Buton sebagai pulau dan Buton sebagai komunitas orang- orangnya.
Keterkaitan ini akan sangat terlihat pada telaah struktur social dan ideologi
kekuasaan serta pembedaan masyarakat atas orang Wolio dan orang non Wolio atau
orang Buton secara umum yang mendiami keseluruhan sebaran wilayah kerajaan
maupun kesultanan Buton pada masa masing- masing.
Kerajaan atau Kesultanan Buton masa lalu terletak
antara 4 derajat dan 6 derajat lintang selatan dan 122 derajat dan 125 derajat
bujur timur. Luas daerah seluruhnya 11.300 km². pulau- pulau itu terbentuk dari
karang yang terangkat memanjang di lautan, dan agak bergunung- gunung (Schoorl,
2003 : 27). Juga, menurut data yang kami peroleh dari tulisan Schoorl, masih
dalam bukunya yang sama yang berjudul “Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton”,
kerajaan Buton yang selanjutnya menjadi Kesultanan Buton meliputi pulau- pulau
utama Buton (Butuni atau Butung), Muna dan Kabaena, Kepulauan Tukang Besi serta
dua daerah dibagian tenggara pulau Sulawesi (Rumbia dan Poleang) (Schoorl, 2003
: 1). Daerah- daerah ini adalah daerah kekuasaan kerajaan, kemudian Kesultanan Buton saat itu, yang tidaklah
lagi demikian adanya saat ini. Muna dahulu telah menjadi kabupaten Muna yang
sekarang, gugusan kepulauan Tukang Besi menjadi kabupaten Wakatobi serta
Kabaena, Rumbia dan Poleang
menjadi kabupaten Bombana (Tamim, dalam Naskah Buton, Naskah Dunia, 2009 :
149). Hal ini memberikan kepada kita suatu gambaran perubahan signifikan atas
luas wilayah kekuasaan negara Buton yang jauh berbeda setelah terintegrasi ke
dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Dalam musyawarah persiapan
pembentukan daerah tingkat II di Kendari tahun 1959, ditetapkan Buton dan Muna
sebagai dua kabupaten otonom di Sulawesi Tenggara dengan Kendari sebagai ibu
koya propinsinya, hal mana yang sekaligus menandai berakhirnya masa Kesultanan Buton yang sudah bertahan
lebih dari 500 tahun mengarungi bahtera sejarah (Darmawan, 2008 : 24).
Dalam sejarah, Buton tercatat pertama kalinya sebagai
sebuah komunitas migrasi para pendatang dari johor, tanah melayu. Mereka di
pimpin oleh empat orang yang bernama Sipanjonga,
Simalui, Sitamanajo, dan Sijawangkati. Oleh orang-orang Buton pada masa itu, ke empat orang
tersebut digelari mia patamiana. Awalnya mereka menempati daerah sekitar pantai
Kampala, namun karena banyaknya perompak
yang datang, komunitas ini pun pindah kesuatu perbukitan yang masih berupa
hutan. Mereka kemudian membuka lahan dengan cara menebang pohon-pohon di hutan
tersebut. Aktifitas penebangan hutan untuk membuka lahan inilah yang kemudian
disebut-sebut oleh sejumlah peneliti dalam sejumlah literaturnya sebagai asal
mula kata wolio, yang akar katanya dalam bahasa wolio adalah welia yang berarti
menebas.
Buton kemudian memasuki zaman
kerajaannya, ketika Wa Kaa-Kaa di angkat sebagai ratu pertama Kerajaan Buton, yang menurut hikayat Wa Kaa-Kaa adalah seorang gadis yang lahir dari
bulu bambu, sehingga orang-orang Buton menggelarinya Mobetena Yi Tombula. Namun versi lain mengatakan
bahwa Wa Kaa-Kaa
sebenarnya adalah putri dari dinasti Mongol, anak Kubilai Khan, yang memerintah
Mongol ketika itu. Wa Kaa-Kaa di utus ke Buton
untuk mencari dan menggagalkan usaha Gajah Mada, patih yang sangat masyur dari Kerajaan Majapahit yang merupakan musuh
dinasti Mongol.
Menurut cerita, Gajah Mada ketika itu juga sedang berada di tanah Buton dan untuk misi itulah Wa Kaa-Kaa di utus ke Buton.
Pemerintahan Kerajaan Buton di mulai oleh Ratu Wa Kaa-Kaa pada sekitar tahun 1302-1336 dan berakhir
pada masa pemerintahan Raja
Lakilaponto sebagai raja IV mulai antara tahun 1491-1511 (Serajuddin, dalam
naskah Buton, Naskah Dunia, 2009;137). Masuknya islam ke Buton yang dibawah oleh para pedagang dan
sufi Arab melalui jalur perdagangan dan pelayaran pada sekitar tahun 1464,
sumber lain menyebutkan pada sekitar tahun 948 H atau yang jika di persamakan dengan
hitungan masehi sama dengan sekitar tahun 1542, menyebabkan berakhirnya masa Kerajaan Buton dan dimulainya masa Kesultanan dengan Sultan Murhum, nama lain Raja Lakilaponto setelah masuk islam,
sebagai Sultan
Buton pertama. Masa Kesultanan ini berlangsung sejak
1511-1960 dengan sultan La Ode Muhammad Falikhi sebagai Sultan terakhir, sultan
ke 38 yang memerintah Buton.
Layaknya sebuah Kerajaan atau Kesultanan, Buton hidup dengan mengembangkan kebudayaannya sendiri. Sejalan
dengan salah satu konsep kebudayaan yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah
proses dan strategi adaptasi terhadap lingkungan, demikian pulalah dengan
kebudayaan yang hidup dan berkembang di Kerajaan
dan Kesultanan Buton. Masyarakat Buton mengembangkan kebudayaannya sebagai suatu
kompleks sistem
ide, gagasan, serta sistem
nilai mengenai hakikat hidup, mengenai apa yang baik dan tidak baik, mulia dan
tidak mulia yang di lakukan baik dalam kehidupan pribadi, hubungan dengan orang
lain maupun sang penguasa. Sistem
nilai inilah yang melahirkan falsafah yang menjadi rambu-rambu yang mengarahkan
tata kelakuan dan pola interaksi dalam hidup bermasyarakat. Keseluruhannya,
baik sistem nilai,
maupun sistem
tata laku secara padu padan (integral) melahirkan hasil karya yang menjadi simbol identitas dan jati diri serta
membentuk peradaban. Sehubungan dengan falsafah inilah, makalah ini di buat
yaitu untuk melihar dan memberikan deskripsi hasil rekonstruksi historis
tentang aplikasi transformasi konkret nilai-nilai falsafah Buton dalam kehidupan masyarakat Buton yang senyatanya dalam aspek
politik, ekonomi, sosial
budaya dan agama.
1.2.
Batasan
Masalah
Falsafah perjuangan orang Buton ini
merupakan produk zaman Kesultanan
setelah islam menapakkan kakinya di bumi Buton. Nilai- nilainya bersumber dari Al-Quran
dan Hadist. Terdiri atas :
1.
Yinda- yindamo Arataa Solana Karo, yang secara harfiah berarti tidak
usahlah harta yang penting diri;
2.
Yinda- yindamo Karo Solana Lipu, yang secara harfiah berarti
tidak usahlah diri yang penting negara;
3.
Yinda- yindamo Lipu Solana Sara, yang secara harfiah berarti
tidak usahlah Negara yang penting pemerintahan;
4.
Yinda- yindamo Sara Solana Agama, yang secara harfiah berarti
tidak usahlah pemerintahan yang penting Agama (Safulin, dkk, 2007 : 85).
Mengingat luasnya lingkup objek atau
fenomena yang dapat menjadi kajian falsafah Buton di zaman Kerajaan maupun Kesultanan, maka demi fokusnya pembahasan
kami melakukan pembatasan masalah atas
falsafah yang menjadi bahan kajian kami adapun pembahasan kami dalam mengenai falsafah perjuangan orang Buton
“Yinda- yindamo Karo Somanamo Lipu”. Nilai- nilai prinsipil Yinda- yindamo Karo
Somanamo Lipu ini akan kami kaji penerapannya dalam beberapa aspek yaitu aspek
politik, ekonomi, sosial
budaya dan agama pada zaman Kerajaan
hingga Kesultanan
Buton.
1.3.
Rumusan
Masalah
Dengan
demikian, rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
“Aplikasi
nilai- nilai falsafah perjuangan orang Buton “Yinda- yindamo Karo Somanamo
Lipu” dalam aspek politik, ekonomi, sosial
budaya dan agama pada zaman Kerajaan
hingga Kesultanan
Buton”.
1.4.
Tujuan
Untuk mengetahui penerapan (aplikasi)
falsafah perjuangan orang Buton “Yinda- yindamo Karo Somanamo Lipu” dari aspek
politik, ekonomi, sosial budaya dan agama pada zaman Kerajaan hingga Kesultanan Buton.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Falsafah
Perjuangan Orang Buton “Yinda- yindamo Karo Somanamo Lipu”
Falsafah perjuangan ini lahir pada abad
ke -16 M, di masa pemerintahan Sultan La Elangi Dayanu
Ikhsanuddin (1578-1615).
Sultan Buton ke-4, La Elangi Dayanu
Ikhsanuddin, yang telah sukses membuat UUD Kesultanan Buton yaitu Martabat
Tujuh beserta peraturan- peraturan pemerintahan lainnya, sekaligus berhasil
membawa negerinya ke tingkat kehidupan politik , sosial dan budaya yang lebih maju dan
berkembang. Perkembangan selanjutnya adalah semangat nasionalisme dan
patriotisme yang merangsang memenuhi seluruh jiwa raga tiap kesatria dan
kalangan rakyat. Dalam situasi dan kondisi demikian, merebaklah cinta tanah air
(Lipu), agama dan bangsa.
Falasafah perjuangan “Yinda- yindamo
Karo Somanamo Lipu” (rela mengorbankan
diri demi menyelamatkan negeri/wilayah atau demi kepentingan negeri/wilayah),
subtansinya adalah mengandung unsur manusia/kemanusiaan atau humanistik, dengan nilai kemanusiaan yaitu saling
mencintai, menghormati, saling mengayomi serta dapat bekerja sama, baik
dikalangan sendiri maupun dengan pihak lain; memiliki sikap tenggang rasa dan
tidak semena- mena terhadap pihak lain; memperlakukan bawahan dengan persamaan
derajat, hak dan kewajiban; menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan (sering
melakukan kegiatan kemanusiaan (Turi, 2007 : 171).
Falsafah perjuangan ini ditemukan dalam
kepemimpinan organisasi yang selalu rela berkorban untuk kepentingan umum. Hal
ini ditunjukan dengan mengorbankan waktu, tenaga maupun pikirannya untuk
menyelesaikan tugas- tugas kedinasan di luar jam dinas (Turi, 2007 : 165).
Falsafah hidup
tersebut di atas telah menjadi konsensus pemerintah Kesultanan Buton bersama
seluruh rakyat, ditempatkan menjelang penutup Undang-Undang Dasar Kesultanan
Buton (Martabat Tujuh). Namun, dalam sejarah perkembangannya,istilah-istilah
tersebut telah mengalami perubahan sebagai berikut:
1.
Yinda-yindamo
Arataa Somanamo Karo
2.
Yinda-yindamo
Karo Somanamo Lipu
3.
Yinda-yindamo
Lipu Somanamo Sara
4.
Yinda-yindamo
Sara Somanamo Agama
Yinda-yindamo
dalam terjemahan bebasnya adalah “biarlah hilang sama sekali ”. sesungguhnya
menegaskan ungkapan positifme dan sifat ksatria sejati, yaiu: rela membuang
atau mengorbankan seluruh kepentingan diri sendiri demi untuk kepentingan umum
atau kepentingan yang lebih tinggi.
Dan dalam
perkembangan selanjutnya, istilah Yinda-yindamo itu berubah pula dan
dipersingkat dengan Bholimo, hingga menjadilah:
1.
Bholimo
arataa somanamo karo
2.
Bholimo
karo somanamo lipu
3.
Bholimo
lipu somanamo sara
4.
Bholimo
sara somanamo agama
Perlu dikemukakan
bahwa perubahan istilah asli yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Martabat
Tujuh, yaitu amadaki-amadakimo kemudian menjadi Yinda-yindamo dan terakhir
menjadi Bholimo dan istilah Solana Bholi berubah menjadi Somanamo, penulis
belum mendapatkan data akurat kapan mulainya perubahan itu. Menurut dugaan
penulis, kemungkinan itu disebabkan perubahan gerak maju dari pola pikir
masyarakat yang menghendaki serba singkat dan serba cepat. Atau pengaruh bahasa
sehari-hari yang lebih populer dalam masyarakat dan tanpa disadari sudah
menghilangkan bahasa aslinya sebagai bahasa baku.
Nilai-nilai Bholimo Karo Somanamo Lipu dalam
pelaksanaan kepemimpinan diwujudkan dalam bentuk sikap rela berkorban untuk
kepentingan orang lain. Wujud dari pengorbanan dan pengabdian suci seorang
pemimpin organisasi untuk rela mengorbankan diri asalkan untuk kepentingan
bersama (Turi, 2007 : 166).
2.2
Aplikasi
falsafah perjuangan’’yinda-yindamo
karo somanamo lipu’’
2.2.1
Aspek
Politik
`
Kata
“politik” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang akar katanya adalah Polis,berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri,yaitu negara dan teia,yang berarti urusan.
Dalam bahasa Indonesia,politik dalam arti
Politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan
suatu rangkaian asas, prinsip,keadaan,jalan,
cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang
dikehendaki. Politics dan policy memberikan pertimbangan cara pelaksanaan
asas, jalan, dan arah tersebut sebaik-baiknya (Sumarsono, dkk, 2002 : 137).
Dengan
demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa politik menyangkut proses penentuan
tujuan negara
dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan tersebut kemudian memerlukan
kebijakan-kebijakan umum (public
pollicies) yang menyangkut pengaturan,
kebijakan umum, atau alokasi sumber-sumber yang ada. Lebih lanjut bahwa
penentuan kebijakan umum, pengaturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber
yang ada memerlukan kekuasaan dan wewenang (authority).
Kekuasaan dan wewenang ini merupakan hal-hal yang memainkan peranan sangat
penting dalam proses pencapaian tujuan. Karenanya, disimpulkan bahwa politik
membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan negara, struktur, dan ideologi kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijakan (policy) ,dan distribusi
atau alokasi sumber daya (Sumarsono, dkk, 2001: 137 -8).
Sehubungan
dengan hal-hal diatas, akan kita lihat aplikasi nillai-nillai Yinda- yindamo
Karo Somanamo Lipu
dalam bidang politik yang pernah hidup di negara Buton muda, pada masa kerajaan
maupun kesultanan, sehubungan dengan aspek negara, demokrasi, dan strukturisasi
pemerintahan.
Berdasarkan
sumber-sumber yang ada terlihat bahwa struktur pemerintahan di Kesultanan Buton memperlihatkan struktur
dan pengelolaan pemerintahan yang telah diatur menurut ketentuan konstitusi dan
pelaksanaan pemerintahannya telah dilakukan secara secara demokratis, demikian
pula dengan hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah dan tata aturan
pemerintah dengan rakyat yang dipimpinnya telah ditetapkan sebagaimana layaknya
ciri sebuah negara
awal, (school , 2003 :81 dalam Said dalam naskah buton, naskah Dunia, 2009
:196). Lebih lanjut dikatakan bahwa UUD Martabat Tujuh Kesultanan Buton yang merupakan konstitusi
tertulis kesultanan Buton ketika itu, yang diciptakan oleh Sultan La Elangi
pada masa pemerintahannya yang diundangkan secara resmi oleh Sapati La Singga
pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung Keraton merupakan UUD tertulis tertua
di dunia. Kelahirannya jauh mendahului lahirnya “Virginia Bill of Rights” ,
yang baru lahir pada tahun 1776 oleh ke -13 koloni Inggris, yang berderet
sepanjang pesisir timur dari apa yang sekarang berbentuk Amerika Serikat.
Konstitusi Amerika Serikat lahir setelahnya, yaitu pada September 1787 (Prof.
DR. M. Solly Lubis, SH :33 dalam Sardi dalam Naskah Buton, Naskah Dunia, 2009
:167). Dengan demikian, mengutip ucapan mantan Menteri Hukum dan HAM, Dr. M Saad, dalam salah
satu kunjungannya ke Baubau
bahwa demokrasi tertua di Indonesia bahkan konstitusi tertulis tertua di
seluruh dunia adalah demokrasi dan konstitusi tertulis Kesultanan Buton.
Masa
pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik
demokrasi dan konstitusi tertulis Kesultanan Buton. Pemerintahan dengan
bertambah luasnya wilayah Kerajaan
serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe
dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan
menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi
benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa pemerintahan Kesultanan juga terjadi
perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan
pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu
“Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan
perangkat Kesultanan
dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya sistem desentralisasi (otonomi daerah) dengan
membentuk 72 Kadie (wilayah kecil).
2.2.2
Aspek
Ekonomi
Sebelum membahas tentang Falsafah
perjuangan “Yinda- yindamo Karo
Somanamo Lipu” dari segi ekonomi, kita mengulas
terlebih dahulu arti dari ekonomi itu sendiri.
Kata “ekonomi” berasal dari kata Yunani,
oikos
yang berarti “keluarga, rumah tangga” dan nomos atau peraturan, aturan, hukum.
Jadi secara garis besar, ekonomi
diartikan sebagai “aturan rumah tangga”
atau “manajemen rumah tangga”.
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari
perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Ekonomi merupakan
aktivitas yang boleh dikatakan sama halnya dengan keberadaan manusia di bumi
ini sehingga kemudian timbul motif ekonomi yaitu keinginan seseorang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam kehidupan masyarakat Buton khususnya
dalam bidang ekonomi berjalan dengan baik berkat relasi perdagangan dengan
negeri setempat, dalam negeri Buton sendiri telah berkembang suatu sistem
perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang memungut
pajak di daerah kecil adalah tungguweti. Sebagai alat tukar dalam aktivitas
ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut kampua. Panjang kampua
adalah 17,5 cm dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang,
kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional.
Dimasa itu,
biasanya masyarakat kecil membawa hasil kebun, laut, dan sebagainya kepada Sultan
yang bisa disebut upeti setiap tahunnya. Namun hal ini tidak menjadikan mereka
berkecil hati terhadap Kesultanan Buton. Hal ini dikarenakan adanya sikap saling
menghargai antara kaum masyarakat atas dan masyarakat kecil. Para penjabat
tidak memisahkan diri dari kalangan bawah namun justru berbaur dengan mereka.
Misalnya pada pusat kegiatan ekonomi, seperti pasar, tidak ada perbedaan khusus
antara pejabat dan masyarakat umum baik dalam segi pelayanan ataupun
komunikasi. Meskipun demikian, masyarakat tetap menjunjung tinggi, menghormati
kepada para pemimpin dan orang tua.
Sangat jelas sekali jika dikaikan
dengan falsafah perjuangan “Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu” dari segi ekonomi
yaitu tidak ada perbedaan khusus antara pejabat dan masyarakat umum. Baik dalam
segi pelayanan dan komunikasi.
Para pejabat juga tidak mementingkan
dirinya ataupun jabatannya dan tidak memisahkan diri dari kalangan bawah, namun
justru berbaur dengan mereka.
2.2.3
Aspek
Sosial
Budaya
Sebelum diuraikan secara terperinci,
istilah sosial
sering dikaitkan dengan hal- hal yang berhubungan dengan manusia dalam
masyarakat, seperti kehidupan dan seterusnya.
Kehidupan sosial masyarakat Buton, terdiri dari golongan Kaomu, Walaka , Papara dan Batua. Kaomu dan Walaka termaksud kategori bangsawan
(ningrat) dan orang Wolio,
sedangkan Papara
dan Batua termaksud
kategori orang non Wolio.
Dimana Papara
dan Batua adalah
golongan yang tidak dapat diketahui kamiyanya.
Dalam
masyarakat Buton mengenal budaya adat istiadat seperti haroa, pouso, kawia,
matea dan sebagainya. namun demikian, kata budaya berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu “budhayah” yang
merupakan bentuk jamak budi, yang artinya akal atau segala sesuatu yang
berhubungan dengan akal pikiran manusia.
Budaya memiliki perwujudan, contohnya
adanya aktivitas (tindakan) yang merupakan suatu tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat, sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia
lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diamati dan
didokumentasikan.
Dalam masa pemerintahan Sultan
Himayatuddin Muhamad Sayidi berjuang bukan karena disebabkan oleh ambisi untuk
merebut dan menduduki tahta kekuasaan. Dari sudut pandang tindakan, ucapan
serta perilaku yang diperlihatkan oleh Sultan Himayatuddin tetap mampu menjaga
diri sesuai dengan komitmen dan status sosialnya sebagai bangsawan. Oleh karena
itu Sultan Himayatuddin tidak berambisi dan menginginkan status sosial keberadaannya di masyarakat harus
diakui berdasarkan status sosial.
Jika dikaitkan dengan falsafah
perjuangan “Yinda- yindamo Karo Somanamo Lipu” pada masa pemerintahan Sultan
Himayatuddin kita dapat menyimpulkan
bahwa Sultan Himayatuddin tidak ingin mengutamakan status sosialnya pada
masyarakat dalam arti tidak membeda-
bedakan derajat.
Budaya Buton sebagai bagian dari
budaya nasional pada khususnya dan termasuk dalam budaya timur pada umumnya
perlu mendapat perhatian dan pengkajian yang serius dari ilmuan, seniman,dan
kebudayaan.hal ini didukung oleh arahan kebijakan pembangunan kebudayaan,
kesenian dan pariwisata secara garis besar
meliputi :
a.
Mengembangkan dan membina kebudayaan
nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa,
budaya nasional yang mengandung nilai- nilai universal termasuk kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan
hidup bermasyarakat dan mengandung peradaban bangsa.
b.
Merumuskan nilai- nilai kebudayaan
Indonesia sehingga mampu memberikan rujukan sistem nilai
terhadap totalitas perilaku kehidupan ekonomi, politik hukum dan kegiatan
kebudayaan dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kualitas
berbudaya masyarakat.
c.
Mengembangkan sikap kritis terhadap
nilai- nilai budaya yang kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan
bangsa di masa depan.
d.
Pengembangan sikap kritis terhadap
nilai- nilai budaya, pengembangan kebebasan berkreasi dalam berkesenian.
e.
Pengembangan dunia perfilman Indonesia.
f.
Pelestarian apresiasi nilai kesenian dan
kebudayaan tradisional sebagai wahana pengembangan pariwisata.
g.
Pengembangan pariwisata dengan
pendekatan sistem
yang utuh berdasarkan pemberdayaan masyarakat.
Hal tersebut didukung oleh UUD Negara RI
Tahun 1945 pasal 32 yang berbunyi : (1) Negara memajukan kebudayaan Nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, (2) Negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Berkaitan
dengan hal ini,maka dalam falsafah perjuangan’’Yinda-yindamo Karo Somanamo
Lipu’’dari segi sosial budaya dapat dimaknai bahwa setiap prilaku/tindakan yang
dilakukan setiap hari harus lebih mementingkan orang banyak dibandingkan diri
kita sendiri dalam arti lebih cenderung menghargai budaya –budaya lain tapi
dengan tanda kutip ‘’budaya sendiri harus dapat dijunjung martabatnya’’.agar
dapat memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya.atau dengan kata
lain,suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat dimana terdiri dari
aktivitas-aktivitas yang berinteraksi,serta bergaul dengan manusia lainya
menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan didaerah kita
masing-masing.
2.2.4
Aspek
Agama
Sebagaimana kita ketahui bahwa agama
yang yang dominan dalam masyarakat Buton
sampai sekarang adalah agama Islam.
Awal mula masuknya agama Islam
di Buton yaitu pada
abad ke -16 dimana Kesultanan dengan basis agama Islam. Perubahan bentuk pemerintahan ini
terjadi pada masa Raja Lakilaponto yang bergelar Murhum Khalifatul Hamis
(1538-1584), sebagai Raja VI sekaligus sultan I. Oleh karna itu, Sultan Murhum
menjadi Raja
selama beberapa tahun sebelum akhirnya memeluk Islam dan menyatakannya sebagai agama Kerajaan dan agama seluruh rakyat Buton. Perubahan
bentuk pemerintahan ini di tandai dengan didirikannya bangunan-bagunan yang
bercorak dan berciri Islam yang sampai kini bukti-buktinya masih dapat di lihat
di Keraton Buton berupa mesjid dan makam kuno (makam Sultan Murhum) dengan arah
hadap utara-selatan.
Terdapat dua versi mengenai masuknya
islam ke Buton yaitu pertama, Islam masuk ke Buton pada tahun 1540
(Schoorl,2003:135). Menurut cerita yang berkembang turun temurun di
Buton, raja di Kerajaan Buton memeluk agama Islam pada tahun 948 H. Dengan demikan menjadi sultan pertama
Kesultanan Buton. Jika berpatokan pada tahun 948 H. maka kira- kira masuknya Islam ke Buton sama dengan tahun 1540 M
atau pertengahan abad ke-16 (Zahari, 1980 : 40). Pembawa Islam ke Buton ialah Syekh Abdul Wahid,
putra Syekh Sulaiman keturunan arab yang beristri puteri Sultan Johor.
Kedua, ketika Sultan Baabulah dari
Ternate menaklukkan Kerajaan
Buton pada tahun 1580 dan memperkenalkan agama Islam di Buton (Ligtvoet, 1878 : 31).
Akan tetapi, sumber- sumber dalam tradisi loKal budaya Buton dengan rasa bangga
mencatat bahwa ketika penguasa Ternate (Sultan Baabulah) datang ke Buton,
beliau terpaksa harus mengakui bahwa rakyat di Buton sudah memahami islam
(Schoorl, 2003 : 157). Pada saat yang sama memang diakui adanya ketergantungan
tertentu dalam bidang agama, karena menurut kebiasaan setiap jumat orang Buton
harus ke Ternate untuk ikut Shalat jumat di masjid Ternate. Jarak Buton
–Ternate di jembatani dengan cara yang mengagumkan sehingga kewajiban shalat
jumat ini dapat dipenuhi. Kebiasaan ini kemudian berakhir ketika dibangun
masjid Keraton Buton. Menurut Schoorl (2003 : 157) legenda ini merupakan
petunjuk dari ketergantungan dalam bidang agama.
Falsafah hidup Kesultanan Buton menempatkan agama Islam pada posisi puncak tertinggi. Ini
berarti bahwa agama Islam
merupakan satu- satunya sumber hukum tertinggi dalam menyusun sila- sila
berikutnya yaitu : tata pemerintahan (sara), mengelola Negara (lipu), mengatur
kehidupan dan kepentingan orang banyak (karo) dan pengurusan harta benda (arataa). Semuanya itu wajib dilaksanakan
sesuai kaidah- kaidah agama Islam.
Berdasarkan
fakta- fakta yang dapat digali khususnya dari sumber- sumber Belanda ternyata Himayatuddin menggunakan
ideology perang sabil (jihad) untuk memperkuat semangat dan jiwa para
pendukungnya. Kristalisasi nialai- nilai ke Islaman dalam memerangi VOC Belanda yang
dianggap zalim merupakan totalitas dari nilai- nilai syariah, muamalah, tauhid,
akidah, akhlak dan ibadah secara utuh yang dilaksanakan dalam medan perang baik
oleh pemimpin maupun prajurit. Apalagi, dibarisan Sultan Himayatuddin berjuang
orang- orang yang fanatic Islam.
Bahkan nilai- nilai ke Islaman
itu menyinari perjuangan Sultan Himayatuddin. Perwujudan nilai tersebut dalam
perjuangan Himayatuddin tercermin pada diri dan sikap beliau yang tidak pernah
mengeluh atau bahkan menyesal, sekalipun melepas jabatan yang disandangnya
sebagai taruhannya.
Jika dikaitkan dengan falsafah
perjuangan “Yinda- yindamo Karo
Somanamo Lipu”kita dapat menggambil contoh dari Sultan Himayatuddin dimana beliau sangat menjunjung tinggi
nilai- nilai keagamaan bahkan beliau rela melepaskan jabatan yang disandangnya
sebagai taruhannya.
Demikian
pula generasi muda dapat mampu menghayati apalagi mengembangkan nilai- nilai keislaman,kejuangan dan
kepahlawanan yang telah di diharmabaktikan
pada generasi terdahulu. maka
generasi sekarang harus menghargai dan mengembangkan nilai- nilai tersebut,
khusunya dari mereka yang telah mengorbankan jiwa raganya kepada nusa dan
bangsa seperti dalam falsafah
perjuangan Buton’’Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu’’.
Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa setiap generasi adalah anak zamannya
dengan kondisi dan tantangan berbeda- beda. Namun, sebagai suatu bangsa
hubungan dengan generasi terdahulu tidak akan dapat putus.
BAB
III
PENUTUP
1.1.
Kesimpulan
Dalam kehidupan bermasyarakat,
masyarakat Buton telah memiliki falsafah
hidup yaitu Falsafah
perjuangan yang merupakan landasan kedua Hukum Adat Wolio, dasar hukum yang
dijadikan landasan nilai-nilai, cara berfikir dan sekaligus sebagai sumber
hukum yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Makna-makna hakiki
yang terkandung di dalamnya kemudian terjabar dalam Sara Pataanguna atau dasar hukum yang empat, yaitu sebagai berikut
:
- Yinda-yindamo
arataa somanamo karo
- Yinda-yinamo
karo somanamo lipu
- Yinda-yindamo
lipu somanamo sara
- Yinda-yindamo
sara somanamo agama.
Secara lebih khusus bahwa falsafah “perjuangan” yaitu salah satunya
adalah Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu
berarti lebih mengorbankan
diri demi kepentingan semua orang dalam arti lain korbankanlah kepentigan
diri(pribadi/rakyat) atau karo,asalkan lipu (negara)selamat.
Dalam keadaan
normal,setiap individu/rakyat(karo) wajib dilindungi kepentingan dan
keselamatannya.tetapi bila kepentingan yang lebih tinggi yaitu negara(lipu)
terancam keselamatannya,maka kepentingan individu/rakyat(karo) dikorbankan
untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih tinggi,yaitu negara(lipu). Contoh :
-
Apabila
negara dalam keadaan terancam keselamatannya,umpamanya diserang musuh,baik dari
dalam maupun luar,maka rakyat (karo) wajib siap berperang mengorbankan jiwa
raganya demi menyelamatkan keutuhan dan kehormatan negara (lipu).
Falsafah perjungan “Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu”dari
segi ekonomi dapat dilihat dari adanya keberadaan sistem ekonomi Islam yang ada
dalam kehidupan manusia, dimana pengertian Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu
dari segi ekonomi berarti harus berbasis kepentingan orang banyak atau kepuasan kepada kedua belah
pihak, dalam arti antara keduanya tidak saling merugikan, yaitu antara pembeli
dan penjual.
Falsafah perjuanagan“Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu”
dari segi sosial budaya, maka interaksi antar hubungan
sesama manusia atau masyarakat haruslah dilandasi kepentingan bersama, walaupun ada
perbedaan status,budaya maupun
bahasa
dalam lingkungannya.
Dari
segi politik, arti dalam falsafah perjuangan
“Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu”
yaitu dalam proses pengambilan kebijakan dalam tatanan pemerintahan harus
berlandaskan kepentingan bersama
tidak mementingkan jabatan ataupun tidak membedakan kasta atau golongan seperti
terjadi masa pemerintahan sultan himayatuddin dimana Beliau tidak
membeda-bedakan status,
Sama halnya dalam segi politik masyarakat Buton di
mana tidak ada kerugian yang diterima oleh kedua belah pihak, baik rakyat
ataupun pemerintah.
1.2
Saran
Perlu dilakukan
pengkajian yang lebih mendalam dan komprehensif mengenai sejarah kehidupan
Kerajaan dan Kesultanan Buton hubungannya dengan aplikasi dan nilai-nilai falsafah
perjuangan “Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu” terutama dalam sosial budaya guna
memperkaya literatur pengetahuan kita mengenai kehidupan Buton masa lalu.
DAFTAR
PUSTAKA
Darmawan, M. Yusran. Menyibak
Kabut di Keraton Buton. 2008. Respect. Baubau
Naskah Buton,naskah Dunia”Prosding Simposium internasional IX Pernaskahan
Nusantara”.2009.Respect.
Baubau
Schoorl, Pri. Masyarakat,
Sejarah dan Budaya Buton. 2003. Djambatan. Jakara
Safulin,
La Ode, Rustam Awat & Aris Mahmud. 2009. Akhlak dan Budaya Buton. Bau-Bau.
Sumarsono, S, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. 2008.
Gramedia Pustaka Umum. Jakarta
Turi,
La Ode. 2007. Esensi Kepemimpinan
Bhinci-Bhinciki Kuli (Suatu Tinjauan Budaya Kepemimpinan Lokal Nusantara).
Khazanah Nusantara. Kendari.
http://www.Google.com
sejarah.kompasiana.com/2011/03/24/bolimo-karo-somanamo-lipu-falsafah-hidup-kesultanan-buton/